Pondok Pesantren Salafiyah AR-RAAID – SMP – SMA – Mahasantri

Melepas Belenggu Ritual Setan Pendidikan

 

Profil Penulis

Nama Lengkap         : Rival Muhammad Rijalul Fahmi

TTL                             : Cianjur, 25 Februari 1999

Alamat                        : Kp. KBMG 03/ 15/ 24. Kel. Sawahgede. Kec. Cianjur, Kab. Cianjur 43212

Asal Sekolah               : MAN 1 Cianjur, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Jurusan/Fakultas       : IQTAF/ Ushuluddin

Tema                            : Akhlak Dalam Kewajiban Menuntut Ilmu

 

Diawal untaian kata, tiada kata kata yang indah nan megah diantara syair-syairnya para pujangga. Senandung rindu merdu nan syahdu dari tembang nya seorang gadis yang dilanda rindu untuk menuju Dzat Allah yang Maha Satu. Gelora cinta yang dituliskan oleh seorang pemuda diatas kaca yang diserpih diatas noda dan nestapa demi mendapatkan cinta yang tiada tara dari Allah swt.

Pada arus zaman milenial yang sedang kita arungi saat ini, urgensi ilmu pengetahuan seolah menjadi oksigen bagi tubuh manusia. Ilmu pengetahuan membentuk citra manusia dalam perspektif yang ideal serta dapat memposisikan seberapa dekat manusia dengan penciptanya. Perkembangan ilmu pengetahuan memberikan pengaruh positif terhadap keadidayaan agama baik secara kognitif maupun secara aplikatif. Khususnya, agama Islam secara inklusif mendeskripsikan ilmu pengetahuan yang selebihnya dipadukan dengan adab serta kecintaan terhadap pemilik ilmu. Hussain Bin Ali mendengar Nabi Muhammad saw bersabda

عَنْ حُسَيْن بنِ عَلِّي قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهِ وَسَلَّمَ طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu wajib bagi setiap orang Islam.” (HR. Al-Baihaqi, Ath-Thabrani, abu Ya’la, Al-Qudha’i, dan Abu Nu’aim Al-Ashbahani).

Dalam  hadist tersebut termaktub kata فَرِيْضَةٌ yang memiliki definisi makna yang bermuatan perintah. Merujuk pada kaidah Ushul Fiqh, yang menunjukan bahwa setiap sesuatu hal yang memuat lafadz perintah maka konten terseut bernilai ibadah. Tentunya, dalam beribadah seorang hamba tidak boleh sembarangan agar tidak merusak esensi kesucian ibadah itu sendiri. Sebelum menjemput keutamaan dari ilmu pengetahuan, seorang hamba haruslah tahu akan adab dan akhlaq yang harus diamalkan untuk     mencapai keutamaan ilmu tersebut.

Ta’dib secara Etimologi merupakan bentuk masdar kata kerja addaba yang berarti ‘mendidik, melatih disiplin, memperbaiki, mengambil tindakan, beradab, sopan, berbudi baik.

 

Dalam salah satu hadis Rasulullah bersabda:

أدًّبّي رَبِّي فأحْسَنَ تَأديي(أخر جه العسكري عن علي)

“Tuhanku mengajarkan adab kepadaku maka Dialah yang memperindah adabku.”(HR. al-‘Askariy dari Ali)

 

Kata ta’dib pada umumnya lebih banyak digunakan pada pendidikan yang bersifat keterapilan lahir yakni latihan dan keterampilan. Ia berasal dari kata adab, yang berarti etika, sopan santun, dan budi pekerti lebih tepat diartikan mengajarkan adab atau diartikan memberi pelajaran atau hukuman

 

Ayat Al-Quran yang berhubungan dengan adab menuntut ilmu antara lain:

يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ

 

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Mujadillah:11)

 

Sepatah kearifan dari khalifah Ali bin Abi Thalib yang berbunyi  “Keindahan seseorang tidak diniliai atas dasar apa yang ia kenakan, melainkan (keindahan sesungguhnya) ditinjau dari ilmu dan adab”. Sekapur sirih tersebut menunjukan bahwasanya ada kaitan yang begitu erat antara adab dan ilmu. Secara garis besar, adab bagi seorag muslim yang hendak menuntut ilmu dibagi menjadi dua bagian menurut Al-Attas yakni Adab Penuntut Ilmu terhadap Dirinya Sendiri (Adab al-Muta’allim fii Nafsihi) dan Adab Penuntut Ilmu terhadap Gurunya (Adab al-Muta’allim Ma’a Syaikhihi)

Adab al-Muta’allim fii Nafsihi, berorientasi pada pembersihan hati dan jiwa agar ilmu mudah untuk diserap serta memperoleh Rahmat Allah swt. langkah pertama untuk menempuh tahap ini ialah memurnikan keikhlasan hati mencari ilmu hanya untuk  memperoleh Ridha Allah swt. yang kemudian dipadukan dengan menghargai waktu dan keistiqomahan mencari ilmu. Dalam tahap ini, seorang pencari ilmu tidak diperkenankan untuk ‘ujub dan takabbur. melainkan senantiasa untuk menjaga diri (wara’) baik dari Ghibah, makanan dan minuman haram serta perbuatan maksiat yang demikian ini bertujuan agar ilmu pengetahuan yang diperoleh memiliki Ruh dan bernilai ibadah bukan hanya sekedar aspek kognitif semata. Imam Asy-Syafi’i bersenandung “barang siapa yang tidak kuat menahan perihnya menuntut ilmu maka bersiaplah menerima pahitnya kebodohan di masa depan”

Adab al-Muta’allim Ma’a Syaikhihi, menitik beratkan penghormatan kepada guru dan keturunan guru. Setiap ilmu haruslah memiliki sanad keilmuan nya, jika tidak maka syetan lah yang akan menjadi sanadnya. Dalam kearifan Basa Sunda, guru memiliki makna “digugu jeung ditiru” yang demikian menjelaskan bahwasanya seorang guru haruslah ditaati baik  saat beliau mengajarkan pelajaran (aspek kognitif) maupun dalam hal perintah (aspek afektif) yang dikemudian hari akan mencurahkan berkah. Dalam adab kepada guru sendiri, seorang murid harus senantiasa ta’dzim dan tidak mengeluarkan suara yang lebih kuat daripada guru, bukan hanya demikian namun juga seorang murid haruslah menjaga hak-hak gurunya dan mengingat jasa-jasanya, sepanjang hidupnya, dan setelah wafatnya, seperti mendoakan kebaikan bagi sang guru dan menghormati keluarganya.

Sebagai penutup, ada sebuah petuah dari Syeikh (Muhyiddin) Ibn Arabi. “Bersungguh-sungguhlah dan jangan malas. Karena sesungguhnya kegagalan akan dialami oleh orang yang berpaling dari Allah dan penuh akan rasa malas”. Seri tapa mulanggana, awak panyipuh buana, nur dzat nur sifat kersaning Allah swt. Wallahu’alam

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top